Pair of Vintage Old School Fru
Rrobywap New
Translate this page !
Tukang Rabuk
Sore itu, jalanan masih basah
oleh hujan yang sebelumnya
turun. Udara sore itu terasa
segar, karena air hujan seakan
mencuci bersih debu-debu
yang ada di jalanan. Bapak itu datang lagi. Dengan
wajahnya yang letih dan
kuyu, tertimpa beban
kehidupan yang berat dan
kemiskinan yang melilit.
Kaosnya terlihat kotor, sepertinya sisa kampanye
Pilkada tahun 2007 lalu, dan
celana jins robek yang
dikenakannya terlihat kusam.
Dia adalah tukang rabuk
langganan kami, yang menjual pupuk yang terbuat
dari kotoran kuda.
Sebenarnya kami tidak terlalu
membutuhkan dagangan si
bapak. Namun, karena
perasaan ingin menolong, maka kami pun membeli
rabuk tersebut. Kami pun membagi makanan
alakadarnya yang kami
punyai kepada bapak itu.
Makanan yang sama yang
kami makan sehari-hari. Saat
dia sedang makan, aku sempatkan bertanya sedikit
padanya. "Pak, tinggal di
mana?" tanyaku. "Tinggal di
Kuningan, belakang Perbanas.
Saya tinggal di warteg,
dikasih tempat," dia lalu menunjukkan padaku kira-
kira ukuran luas tempat yang
diberikan padanya. Tidak
terlalu luas, mungkin hanya
cukup untuk sekedar
merebahkan punggungnya yang letih tertimpa beban
kehidupan yang amat sarat. "Kata yang punya warteg,
kalau mau makan ya makan
aja. Paling berapa sih makan?"
kata si bapak, menjelaskan
padaku kebaikan pemilik
warteg yang menampungnya. Aku
terdiam, aku tidak tahu
berapa banyak penghasilan
seorang pemilik warteg,
namun kesediaan si pemilik
berbagi dengan bapak itu bagiku sungguh
mengagumkan. Si bapak
sudah sekitar tujuh bulan
tinggal di sana, sebelum itu dia
tinggal di emperan-emperan
rumah atau toko. Dia juga pernah tinggal di tempat yang
seperti kandang kambing. Bapak itu juga menjelaskan
pada mulanya si pemilik
warteg tidak percaya bahwa
tempat tinggalnya seperti
kandang kambing. Si pemilik
warteg baru percaya setelah melihat tempat itu dengan
mata kepala sendiri. Karena
itulah, si pemilik warteg
mengajak si bapak tinggal di
wartegnya. Sekedar diberi
tempat untuk merebahkan diri. Pak penjual rabuk itupun
tahu pula membalas budi,
terkadang dia membantu
mencuci piring di warteg
tersebut. "Keluarga di mana pak?"
tanyaku lagi. "Di Tangerang,"
jawab si bapak. "Sering
pulang kampung?" tanyaku
lebih lanjut. "Seminggu sekali,
kalau ada uang," jelas si bapak. Mengenai penghasilannya, si
bapak bilang kalau musim
hujan, biasanya rabuk yang
dihasilkan kurang bagus.
Lembab dan berbau. Namun,
bila matahari bersinar cerah dan cuaca panas, rabuknya
kering dan bagus. Bapak itu
sendiri tidak punya banyak
langganan. Selain di tempat
kami, dia terkadang menjual
rabuk di kawasan Setiabudi, Kuningan. Namun, di Setiabudi
terkadang terjadi persaingan
tidak sehat. Dia seringkali
tersingkir oleh kawan-
kawannya yang lain, sesama
penjual rabuk. Ya, suatu dunia yang keras dan kejam. Yang
seringkali menindas yang
lemah dan menguatkan yang
kuat. "Ya, kalau sudah rezeki sih ada
aja," kata bapak itu pasrah.
Kepasrahan memang salah
satu ciri orang-orang miskin di
negeri ini. Terkadang
kepasrahan itu merupakan satu-satunya penghibur hati
dari pahit getir kemiskinan
yang seakan mencengkram
sampai ke tulang sumsum.
Seakan-akan membenarkan
thesis Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society.
Erich Fromm menyebut
masyarakat miskin seperti
bapak itu dengan sebutan
Receptive Society. Masyarakat
yang lebih banyak pasrah pada kehidupan, lebih suka
menunggu bantuan. Kepasrahan pada kadar
tertentu adalah sesuatu yang
baik. Manusia, apabila sudah
maksimal usahanya, harus
memasrahkan hasil usaha
tersebut pada Allah SWT. Kepasrahan tingkat tersebut
bisa disebut tawakkal.
Namun, pada kadar yang
terlalu banyak, tentu bisa
berefek melemahkan
semangat hidup. Pada tingkat yang sudah sangat parah,
kepasrahan bisa saja diartikan
sebagai apatisme atau
fatalisme. Tidak lagi mau
melakukan apa-apa. Tidak berapa lama kemudian,
si bapak tua itupun pamit
untuk kembali ke tempat
tinggalnya. Tempat tinggal
yang tidak banyak
memberikan apa-apa. Selain tempat untuk sekedar
merebahkan diri, untuk
sejenak beristirahat. Untuk
kemudian kembali bergelut
dengan dunia yang penuh
penderitaan, kepedihan, dan kegetiran. Dunia yang berada
dalam cengkeraman kejam
yang bernama KEMISKINAN.
Sumbernya Disini
Didukung Oleh
ONLINE :
Web Link Exchange
waplogIndoTOPwaplist.orgWeb Link ExchangeFree Automatic Link**TOP RANKWAPLOG.SU4uhits.com
Visitor
Hari Ini : 1 Orang
Minggu Ini : 1 Orang
Bulan Ini : 2 Orang
Total : 681 Orang
[ Bookmark Now ! ]

Warga yg datang melalui
© Copyright 2012 Rrobyfwap