Polaroid
Rrobywap New
Translate this page !
Logika yang mengantarkan jadi mualaf
Ketika
memutuskan memeluk Islam,
ia tak mendapat dukungan
dan panduan khusus dari
Muslim lain. Namun tekadnya
bulat untuk tetap belajar dan berkontribusi dalam dakwah
demi bisa membantu mualaf
lain menjalani transisinya
dengan lebih mudah.
Itulah Abdallah, lelaki
berdarah India yang lahir dan besar di Toronto. Kehidupan
dia sebelum Muslim adalah
campuran antara India, agama
Hindu dan budaya barat ala
Kanada. "Sehingga ketika saya
besar, saya masih mengenal baik budaya, bahasa saya dan
juga agama orang tua,"
tuturnya.
Ia juga kerap mendatangi
kuil, selalu pergi ke kemah
musim panas, sekolah Minggu dan mengikuti kegiatan
keagamana. "Jadi saya melalui
semua adat istiadat dan ritual
baik milik orang tua saya di
rumah maupun di sekolah,"
ungkapnya. Sewaktu menjadi pelajar,
Abdallah mengaku tipe yang
serius, terutama saat duduk di
bangku SMA. Namun ia juga
tetap suka bersenang-senang.
"Saya sangat suka musik, bahkan pada usia 11 tahun
saya bisa bermain gitar,"
katanya.
Perjalanannya menuju Islam,
menurut Abdallah jauh dari
kebanyakan mualaf lain. "Saya merasa tidak memiliki
masalah secara emosional
yang mendorong saya
menuju kebenaran," tuturya.
"Hanya saja sewaktu muda
saya sudah merasa tidak cocok dengan agama orang
tua," imbuhnya.
Meski, ungkapnya, ada suatu
saat ia begitu membela dan
taat terhadap agama orang
tuanya. "Saya begitu taat seperti kerang. Namun saat itu
yang terasa kosong, karena
saya sadar bahwa saya hanya
mencoba membela diri dan
berpikir orang-orang akan
menyerang keyakinan ini dari berbagai aspek," ujarnya.
Abdallah sulit menerima
gagasan banyak tuhan untuk
disembah. "Itu rasanya tidak
cocok untuk saya. Selain itu
banyak pemaparan berbeda yang sama sekali tak logis
apalagi ilmiah," ujarnya. "Saya
tidak puas dengan kebenaran
yang saya yakini saat itu."
Ia pun memutuskan untuk
meninggalkan agama orang tua pada usia remaja. Keluar
dari Hindu ia pun menuju Injil.
"Saya membaca kitab itu dan
begitu indah karena saat itu
ada konsep satu Tuhan. Kalau
tidak salah saya temukan itu pada Kitab Perjanjian Lama,"
tutur Abdallah.
Tuhan yang Abdallah kenal
dari Injil, menurutnya sangat
baik hati dan di saat
bersamaan, hadir konsep nabi, seorang manusia pembawa
pesan tuhan dan ia bukanlah
entitas Esa. "Bisa saya bilang
konsep itu sangat menarik
hati saya. Setelah itu pencarian
saya terus berjalan." Ia pun membuka bagian Kitab
Perjanjian Baru. "Lagi-lagi saya
bahagia dengan nilai-nilai yang
saya temukan. Saya jatuh
cinta dengan karakter Yesus.
Namun sosok dia sebagai entitas lain Tuhan, sulit saya
terima dalam hati, tidak cocok
bagi saya," tuturnya.
Saat itulah ia mulai menolak
semua agama dan menjadi
atheis untuk beberapa saat. Namun ia pun sulit untuk bisa
menerima konsep atheisme.
"Karena saya tahun, dari
dalam hati ataupun dari logika
yang saya temukan di sekitar,
semua ini pasti diciptakan oleh sesuatu yang luar biasa. Jadi
saya pun terus berjalan dari
satu agama ke agama lain,
Budha, Katholik, kuil Sikh,
bahkan juga kembali berdoa
bersama orang tua saya," ungkapnya.
Satu-satunya agama yang tak
pernah ia usik dan ia lihat saat
itu adalah Islam. Mengapa?
"Orang tua saya dari India dan
tinggal d kota Muslim di sana. Jadi ketika kami dewasa kami
bersentuhan dengan Islam,
meski mungkin bukan
ajarannya, melaikan gaya
hidup Muslim di sana," tutur
Abdallah. Ia merasa memiliki
pehamaman selip. "Setiap kali
berpikir tentang Islam maka
saya memiliki pandangan
mereka adalah teroris, atau
menindas hak wanita. Itulah yang menahan saya untuk
melihat agama itu lebih jauh,"
ujarnya.
Sebenarnya ia memiliki
beberapa teman Muslim di
SMA, bahkan ada yang menjadi teman baiknya.
Namun karena mereka bukan
tipe yang taat beribadah,
Abdallah mengaku tak
menangkap pesan-pesan Islam
lewat perilaku mereka. Akhirnya saat ia masuk
universitas, Abdallah
menemukan tempat di mana
ia bisa membuka diri dari
gagasan apapun. "Saya bisa
mempertanyakan apapun dan bahkan diri saya," ujarnya.
Hingga akhirnya ia
menemukan buku tentang
sains dalam Al Qur'an saat
hendak menulis tugas akhir
untuk gelar sarjana. "Baru itulah saya benar-benar
mengkritisi dan melihat apa
yang diajarkan oleh Islam."
Saat mengkaji, Abdaallah
mengaku dalam kondisi
sangat rasional. Ia ingin berpikir berdasar fakta alih-
alih emosi. "Karena saya telah
melibatkan banyak emosi
dalam aktivitas keagamanan
sebelumnya dan tak ada yang
mengena, sementara yang saya pahami, kebenaran
bukan hanya perkara emosi,
tapi juga mengandung
komponen logis dan rasional,"
paparnya.
Pada momen penentuan itulah justru Abdallah menemukan
pencerahan. "Semua bahan
bacaan mengenai sains dalam
Al Qur'an mulai mendorong
saya dengan kuat. Tapi yang
pasti momen penentuan itu terjadi ketika akhirnya saya
mengucapkan syahadat," aku
Abdallah. Kehidupan seusai Memeluk
Islam "Setelah menjadi Muslim,
Abdallah bercerita kepada
orang tuanya dan orang-
orang di dekatnya. Ia juga
mulai memelihara janggut.
"Mereka pun memiliki pandangan selip terhadap
saya, seperti yang pernah
saya punya," ungkapnya.
Namun Abdallah tak
menyalahkan mereka.
"Sebenarnya itu disebabkan murni ketidaktahuan dan tak
ada seorang pun yang
menjelaskan kepada mereka,
tak ada yang merangkul
mereka untuk memaparkan
seperti apa kebenaran dan betapa indahnya Islam itu,"
kata Abdallah.
Begitupun saat orangtuanya
sedikit bereaksi negatif,
Abddalah melihat itu sekedar
reaksi emosi. "Mereka toh akhirnya tidak memandang
rendah ketika saya akhirnya
menjadi orang lebih baik dan
mengapa saya memutuskan
berubah," ujarnya.
Saat menjadi Muslim, Abddalah tidak menemukan
jaringan dukungan atau
bahkan web sosial yang bisa
memandunya sebagai Mualaf.
"Tak ada mesin besar untuk
menyebarluaskan kebenaran tentang agama. Karena itu
saya berpikir kontribusi
pribadi saya akan bermanfaat,
sekaligus jalan bagi saya
untuk memahami agama ini
setiap hari," ujanya. "Saya melakukan ini agar bisa
memberi panduan pula bagi
mualaf lain, membantu
mereka melakukan transisi
semulus dan semudah
mungkin dan membuat mereka memahami bahwa
ketika mereka menjadi
Muslim, mereka tak akan
kehilangan identitas."
Abdallah ingin memastikan
bahwa mereka masih tetap diri mereka yang dulu dengan
kesukaan, ketertarikan dan
hobi masing-masing.
"Saya pikir hal terbesar yang
saya dapat dari Islam adalah
kepuasan dalam hati. Saya akhirnya memahami mengapa
saya di sini dan mengapa alam
semesta diciptakan. Saya
merasa menyatu dan sejalan
dengan alam di sekitar saya,
menyatu dengan setiap manusia, bahkan makhluk-
makhluk tuhan," ungkap
Abdallah.
"Sungguh menimbulkan
perasaan indah setiap kali
bangun pagi, mengingat Tuhan dan mengingat
anugerah yang telah Ia
berikan kepada manusia.
Itulah yang memunculkan
sikap hormat saya terhadap
setiap manusia, setiap makhluk, hewan, tumbuhan,
apa saja. Islam adalah sistem
kebenaran di banyak hal. Saya
kini belajar untuk lebih
menghormati orang tua,
tetangga saya, orang-orang dari keyakinan lain dan dari
budaya lain,
"Saya kira ini adalah jenis rasa
hormat yang diperlukan,
terutama di kekinian di mana
kita masih perlu menyembuhkan luka dari
masa lalu,"
Sumbernya Disini
Didukung Oleh
ONLINE :
Web Link Exchange
waplogIndoTOPwaplist.orgWeb Link ExchangeFree Automatic Link**TOP RANKWAPLOG.SU4uhits.com
Visitor
Hari Ini : 1 Orang
Minggu Ini : 1 Orang
Bulan Ini : 1 Orang
Total : 914 Orang
[ Bookmark Now ! ]

Warga yg datang melalui
© Copyright 2012 Rrobyfwap