Sore itu jalan di kawasan
Rasuna Said terlihat agak
lengang. Hari libur membuat
jalanan tidak terlalu dipadati
kendaraan, tidak seperti hari-
hari kerja. Aku berjalan perlahan-lahan
menyusuri jalan tersebut.
Langkahku lesu tak
bersemangat, dibebani oleh
kantong yang hanya terisi
sedikit uang. Ya, uang memang sudah jadi raja saat
ini. Walaupun bukan segala-
galanya, namun segala-
galanya perlu uang saat ini.
Inilah uniknya kantong,
makin sedikit isinya, malah makin berat bebannya. Tiba-tiba mataku bertatapan
langsung dengan seorang
bapak tua. Di tangan
kanannya ada sebatang kayu
pendek yang dilengkapi besi
yang melengkung. Sementara di pundak kirinya, ia
memanggul sebuah kantong
sampah besar berwarna
hitam. Hitam, mungkin
sehitam suasana hatinya. Dia mendekatiku perlahan,
dan kuulurkan uang
alakadarnya kepadanya. Dia
lalu bercerita kepadaku,
dengan suara yang tidak jelas
dan terbata-bata. Kepedihan tak terkira tergambar di
wajahnya. "Tuan, minta uang untuk
berobat. Kaki perlu diinjek
(mungkin maksudnya
disuntik). Uang dari mana
tuan?" katanya terbata-bata
dibebani emosi yang bergejolak. Dia lalu
memperlihatkan isi
kantongnya. Penuh sampah
hasil limbah peradaban
moderen seperti gelas plastik,
botol, bungkus rokok, dan sebagainya. Peradaban
kapitalistik yang
memanjakan segelintir
mereka punya uang.
Peradaban yang sama, yang
menindas dengan kejam orang-orang tersingkirkan,
termasuk si bapak yang
kutemui saat itu. Dia lalu memperlihatkan
kepadaku kakinya yang
dibalut kain. Terlihat kain itu
tidak lagi steril, lebih mirip
baju yang sudah lama tidak
dicuci. "Kata dokter harus dibelek (dioperasi mungkin),
ntar gak usah bayar, uang
buat obat aja," ceritanya.
"Uang dari mana tuan,"
katanya terisak, menyayat
hati siapapun yang mendengarnya. Jika si
pendengar masih punya hati
yang hidup tentunya. Yang
masih bisa berempati pada
sesama manusia, apalagi
mereka yang menderita. Aku tak kuasa mendengar
cerita itu. Kepedihan hatiku
tidak bisa membantu si bapak,
mungkin tidak seberapa
dibandingkan penderitaannya.
Kembali kubuka tas kecilku, pemberian dari sebuah
perusahaan pertambangan
ternama pada acara Volunteer
Gathering yang pernah
kuhadiri. Kuambil lagi
sejumlah kecil uang, yang kupunya, kepada si bapak.
Wajah si bapak terlihat lebih
baik, walaupun belum cerah.
Dia lalu pergi dengan tertatih-
tatih, ditopang oleh kedua
kakinya. Kaki yang sebelah sakit dan belum sembuh.
Mungkin tidak akan pernah
sembuh. Kelelahan dan kelesuanku
lenyap sudah, berganti
penyesalan akan betapa
lemahnya jiwa ini. Patah hati
yang kualami sesungguhnya
tidaklah seberapa sakit dibandingkan penderitaan si
bapak tua itu. Tetapi,
mengapa begitu mudahnya
aku terpukul oleh penolakan
gadis yang kuharapkan jadi
kekasihku itu? Sungguh suatu kekufuran akan nikmat yang
luar biasa. Semoga Allah SWT
masih berkenan mengampuni
pengingkaranku tersebut. Semoga si bapak diberi
ketabahan, dan jikapun
kematian datang
menjemputnya, itu adalah
tanda kasih sayang dari Allah
SWT untuk beliau. Agar mendapat tempat yang layak
di sisiNya. Kemiskinan memang masih
merupakan penyakit kronis
yang melanda masyarakat
negeri ini. Negeri yang begitu
memanjakan mereka yang
kaya raya dan menindas tanpa ampun orang-orang tak
berduit. Seperti bapak tua
yang kutemui sore itu.